Tuesday, March 30, 2021

Jati-jati Raksasa di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri

Pohon Jati di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri

Pohon Jati Berlubang di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri


Cagar Alam Donoloyo di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri meny8impan ratusan pohon jati berukuran raksasa. Sebagian besar di antaranya diperkirakan telah berumur 500 tahun. 

Cagar Alam yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Seksi Konservasi Wilayah I itu menempati area seluas 9,2 hektare. Jumlah pohon jati yang dirawat mencapai lebih dari 400 batang. 

Diameter pangkal batang pohon-pohon jati rata-rata mencapai 1-2 meter. Adapun tingginya menjulang hingga puluhan meter. 

Pohon jati yang terbesar dinamai Jati Petruk dan Jagal Abilawa. Rentangan tangan tiga orang dewasa tidak cukup untuk mengelilingi batang pohonnya. Ada juga yang dinamai Jati Semar, Jati Wedok, Jati Cempurung, dan sebagainya.

Namun, beberapa jati berukuran raksasa pernah ada yang tumbang. Pohon tumbang biasanya bukan karena angin, tetapi karena akar tuanya sudah mulai habis membusuk, sedangkan akar mudanya masih pendek sehingga lama-lama miring dan ambruk.

Meskipun tumbang, bangkai batang pohon jati tidak boleh diambil apalagi dijual. Melainkan harus dibiarkan membusuk di tempat karena hutan jati Donoloyo merupakan Cagar Alam.


Selain merawat ratusan pohon jati yang telah uzur, hutan jati Donoloyo juga menyimpan beberapa mitos yang diyakini masyarakat secara turun-temurun. Di tempat tersebut terdapat petilasan yang dipercaya sebagai lokasi tunggak (akar dan pangkal pohon) jati yang dipakai untuk membuat saka (tiang) Masjid Agung Demak. 

Petilasan tersebut dinamai Rumah Punden Ki Ageng Donoloyo, yakni tokoh legendaris yang membangun hutan jati Donoloyo. Selain digunakan untuk membangun Masjid Agung Demak, kayu-kayu jati Donoloyo konon juga pernah digunakan untuk membangun Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Oleh karena itu, banyak pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke hutan jati Donoloyo untuk melakukan wisata religi. Mereka datang ke petilasan menjalani ritual atau tirakat.  Ada yang datang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan dari Papua. 

Petilasan itu dipercaya sebagai bekas pohon induk atau pohon jati pertama di Donoloyo yang kemudian berkembang biak dan menyebar ke mana-mana. 

Petilasan Rumah Punden Ki Ageng Donoloyo di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri

Rute menuju Cagar Alam Donoloyo

Kita bisa memulai rute dari Wonogiri Kota ke arah timur sekitar 30 kilometer sampai Kecamatan Slogohimo. Dari Kecamatan Slogohimo ke timur lagi sekitar 2-3 kilometer, lalu belok kanan (ke selatan) sekitar 2 kilometer sampai di Cagar Alam Donoloyo.

Sunday, March 28, 2021

Jati Denok Slogohimo, Legenda Pohon Jati Hidup di Dalam Beringin

 

Jati Denok Slogohimo

Jati Denok di Desa Made, Slogohimo

Sebuah fenomena langka dijumpai di Desa Made, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Di desa itu terdapat pohon jati berukuran besar yang hidup di dalam pohon beringin atau sejenis pohon bulu. 

Pangkal batang pohon beringin berukuran besar itu berdiameter sekitar dua meter. Tingginya menjulang hingga puluhan meter.

Di sebelah pohon beringin terdapat sebatang pohon jati yang diameter pangkal batangnya lebih dari setengah meter. Namun, ternyata masih ada satu batang pohon jati lagi yang letaknya di dalam beringin.

Tidak diketahui berapa diameter pohon jati yang ada di dalam beringin. Tetapi, tinggi jatinya hampir sama dengan beringin. Umurnya diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun.

Baca juga : Sejarah Candi Mas Pasiraman, Candi Pesing Jatisrono

Pohon jati di dalam beringin itu ternyata menyimpan legenda yang dipercaya sebagian masyarakat setempat. Legendanya masih berhubungan dengan terbentuknya hutan jati Donoloyo.

Kisahnya berawal dari keinginan Ki Ageng Donoloyo untuk mempunyai hutan jati seperti yang dimiliki Ki Ageng Sokoboyo. Namun, permintaan Ki Ageng Donoloyo untuk memiliki beberapa biji jati ditolak. Tanpa sepengetahuan mereka, isteri Ki Ageng Sokoboyo memasukkan beberapa biji jati ke dalam tongkat bambu milik Ki Ageng Donoloyo.

Dalam perjalanan pulang, Ki Ageng Donoloyo beristirahat kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah. Akibatnya, salah satu biji jati di dalam tongkat itu jatuh tertinggal dan selanjutnya tumbuh menjadi besar. Uniknya, pohon jati itu kemudian tertutup oleh batang pohon beringin. Hingga kini, pohon jati dan beringin itu tumbuh besar. Masyarakat kemudian menyebutnya Jati Denok.

Rute menuju Jati Denok

Kita bisa mengawali rute dari Wonogiri kota ke arah timur sekitar 30 kilometer sampai Kecamatan Slogohimo. Dari Kecamatan Slogohimo ke timur lagi sekitar 2-3 kilometer, lalu belok kanan ke arah selatan sekitar 2 kilometer. Nanti ada sebuah pertigaan ada sebuah pohon beringin besar terletak di sebelah kiri atau timur jalan. Itulah Jati Denok. 

Thursday, March 25, 2021

Gua Sodong Pracimantoro, Luweng Museum Karst yang Menyimpan Misteri

 

Gua Sodong di Kompleks Museum Karst Indonesia, Pracimantoro, Wonogiri

Gua Sodong Pracimantoro, Wonogiri

Gua Sodong berada di kompleks Museum Karst Indonesia di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Gua itu mempunyai lorong yang panjang dan terdapat luweng (saluran bawah tanah) di dalamnya.

Gua Sodong terletak sekitar seratus meter di sebelah selatan Museum Karst. Sebuah sungai kecil mengalir masuk ke dalam gua tersebut. Di saat kemarau, airnya tidak seberapa. Namun ketika musim hujan, air yang masuk menuju mulut gua tersebut bisa meluber hingga pelataran parkir di atasnya. 

Bahkan, banjir parah pernah terjadi 20 November 2017 silam. Saat itu hujan dengan intensitas sangat lebat turun, sementara luweng di dalam Gua Sodong tersumbat. Akibatnya banjir besar terjadi hingga menggenangi Museum Karst sedalam lebih dari dua meter.

Baca juga : Bengawan Solo Purba, Menyimpan Jejak 4 Juta Tahun

Saat musim kemarau, orang bisa memasuki gua tersebut. Kedalaman Gua Sodong masih menjadi misteri, kedalaman sebenarnya gua tersebut belum bisa dipastikan. Gua Sodong bisa ditelusuri secara horizontal sejauh sekitar 200 meter. Namun, di dalamnya terdapat luweng yang alirannya menuju entah ke mana. Beberapa orang konon sempat menjelajahi Gua Sodong, tapi belum ada yang menemukan ujungnya. 

Wednesday, March 24, 2021

Sejarah Candi Mas Pasiraman, Candi Pesing Jatisrono

Candi Mas Pasiraman, Candi Pesing Jatisrono


Candi Jatisrono berada tidak jauh dari kantor Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya Kecamatan Jatisrono di Kabupaten Wonogiri. Candi ini juga disebut dengan nama Candi Mas Pasiraman. Ada pula yang menyebutnya Candi Pesing karena dahulu sering digunakan orang yang tidak bertanggung jawab untuk membuang hajat.

Konon, bangunan ini didirikan setelah era Raden Mas Said atau Mangkunegara I yang dijuluki Pengeran Sambernyawa, sekitar tahun 1828 silam. Hal itu diketahui dari tulisan tahun yang terukir di puncak bangunan yang menghadap ke atas.  

Menurut cerita masyarakat setempat, raja Mangkunegaran kala itu berkunjung ke daerah tersebut. Selama perjalanan, dia membangun beberapa tempat persinggahan, termasuk yang ada di Jatisrono. Tinggi bangunan sekitar tujuh meter, sedangkan lebarnya sekitar 6 x 9 meter. Perekat antarbatunya terbuat dari putih telur dicampur madu. Di dalamnya terdapat ukiran batu yang mengandung makna sifat ksatria dan sifat buto (raksasa). 

Sementara itu, persinggahan yang dibangun di Jatisrono dilengkapi dengan tempat pemandian berisi dua kamar mandi serta beberapa saluran yang mengucurkan air bersih.

Bangunan tersebut dahulu digunakan sebagai tempat persinggahan para raja Mangkunegara ketika mereka berkunjung ke daerah (Kademangan).  Dahulu, raja sering pergi ke Kademangan sambil mengusir pemberontakan Belanda karena waktu itu Belanda dianggap sebagai pemberontak oleh raja. 

Baca juga : Air Terjun Watu Jadah Jatipurno Wonogiri

Rute menuju Candi Jatisrono

Kita bisa mengawali rute dari Wonogiri kota ke arah timur sekitar 22 kilometer. Sebelum sampai di kantor Kecamatan Jatisrono, di sebelah kiri jalan raya ada sebuah bangunan candi yang agak masuk ke dalam.  Itulah Candi Mas Pasiraman Jatisrono.

Saturday, March 20, 2021

Air Terjun Watu Jadah Jatipurno, Wonogiri

Air terjun Watu Jadah Girimulyo Jatipurno Wonogiri

Air terjun Watu Jadah Jatipurno Wonogiri

Air terjun Watu Jadah merupakan salah satu air terjun yang unik. Tingginya sekitar 30 meter dan dikelilingi hutan yang masih asri. 

Yang membuat unik adalah bebatuan di sekitar air terjun berbentuk balok-balok persegi yang tersusun rapi, sehingga mirip jadah (makanan tradisional dari ketan). Karena itulah dinamakan air tejun Watu Jadah.

Air terjun Watu Jadah baru diketahui publik secara luas sekitar tahun 2012 lalu. Lokasinya berada pada tanah milik Perhutani di wilayah Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Plarar, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Selatan.

Sekitar tahun 2012-2013, warga setempat bekerja bakti membuka jalan menuju air terjun. Jalan beton saat itu dibangun sepanjang 600 meter, sedangkan jalan makadam dibuat sekitar 800 meter. Meski demikian, pengunjung tetap harus berjalan kaki sekitar 200 meter hingga sampai ke kaki air terjun.

Baca juga : Air Terjun Jurug Kemukus Bertingkat Tiga

Rute menuju air terjun Watu Jadah.

Kita bisa memulai rutenya dari Wonogiri kota ke arah timur sekitar 24 kilometer sampai ke Kecamatan Jatipurno. Dari Kecamatan Jatipurno ke arah utara sekitar 4 kilometer sampai Desa Girimulyo. Dari Desa Girimulyo ke arah utara lagi sekitar 3 kilometer sampai di jalan masuk menuju air terjun.

Sepeda motor hanya bisa sampai di ujung jalan makadam. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sungai sekitar 200 meter. Sampai di kaki air terjun Watu Jadah.

Tuesday, March 16, 2021

Sungai Bengawan Solo Purba, Menyimpan Jejak 4 Juta Tahun

 

Sungai Bengawan Solo Purba, Wonogiri-Gunung Kidul

Sungai Bengawan Solo Purba

Bengawan Solo dikenal sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa Berhulu di Pegunungan Seribu (Gunung Sewu) Kabupaten Wonogiri dan bermuara di Laut Jawa atau tepatnya di Kabupaten Gresik, Jatim.

Tahukah anda, Sungai Bengawan Solo awalnya ternyata tidak mengalir ke utara seperti sekarang. Tapi mengalir ke selatan dan bermuara di Samudera Hindia. Hal itu terjadi pada zaman pleistosen atau lebih dari 4 juta tahun silam.

Setelah zaman pleistosen berlalu, terjadi pengangkatan lempeng benua yang mengakibatkan naiknya daratan di Pulau Jawa bagian selatan. Akibatnya, Sungai Bengawan Solo yang semula mengalir ke selatan, berbalik arah menjadi mengalir ke utara seperti sekarang ini.

Bekas sungai Bengawan Solo kini mengering, namun masih meninggalkan lekuk-lekuk sungai yang terlihat jelas sampai sekarang. Bekas Bengawan Solo yang sudah mengering itu kini disebut Sungai Bengawan Solo Purba.

Baca juga : Banyutowo Paranggupito, Wonogiri

Beberapa tebing Sungai Bengawan Solo Purba mempunyai pola undak-undakan yang menandakan, bahwa dahulu pernah terdapat aliran sungai, sekitar zaman kuarter atau pleistosen.

Sekeliling Sungai Bengawan Solo banyak ditemukan artefak, fosil hewan dan kerang-kerangan. Fosil hewan dan kerang-kerangan diduga merupakan sisa makanan manusia prasejarah. Hal itu menjadi bukti adanya perairan dan peradaban purba. 

Sungai Bengawan Solo Purba Jadi Perkampungan

Panjang Sungai Bengawan Solo Purba berkisar 20,5 kilometer. Hulunya di wilayah Kecamatan Giritontro (Kabupaten Wonogiri) dan muaranya di Pantai Sadeng, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta). Sungai Bengawan Solo Purba sekarang dimasukkan sebagai salah satu geosite Geopark Gunung Sewu.

Sungai Bengawan Solo Purba yang telah mengering kini menjadi perkampungan, tegalan dan persawahan. Beberapa dusun yang berada di sekitar Sungai Bengawan Solo Purba, antara lain Dusun Tileng, Bakagung, Mendak, dan Bakalan di Desa Gambirmanis, serta Dusun Ngaluran di Desa Sumberagung, Kecamatan Pracimantoro.

Monday, March 15, 2021

Pantai Waru Paranggupito Wonogiri, Menyimpan Sumber Air Bersih

Pantai Waru Paranggupito

 

Pantai Waru Paranggupito Wonogiri

Pantai Waru menjadi salah satu pantai yang unik. Pantai yang terletak di Dusun Dringo, Desa Gunturharjo, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri itu mempunyai sumber air bersih yang muncul dari dalam tanah. Sumber air itu menjadi andalan masyarakat sekitar untuk memenuh kebutuhan sehari-hari ketika kekeringan selama musim kemarau. 

Sumber air Waru berada sekitar 300 meter dari bibir Pantai Waru. Airnya muncul dari sebuah rongga atau gua di sisi bukit. Dari mulut gua itu, airnya mengalir kemudian bermuara di Pantai Waru. 

Masyarakat setempat dan PDAM Kabupaten Wonogiri memanfaatkan sumber air Waru untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebuah bak penampungan air telah dibangun beberapa meter dari sumber air. Dari bak penampungan itu, airnya dialirkan ke permukiman penduduk. Ada pula truk-truk tangki milik swasta yang menyedot sumber air Waru untuk kemudian dijual ke masyarakat. 

 


Jalan menuju Pantai Waru sudah berupa jalan cor. Sepertinya, pantai tersebut pernah diproyeksikan menjadi pelabuhan. Namun, kondisi pantai yang dipenuhi batu karang dan tebing yang terjal kurang cocok untuk dijadikan pelabuhan. 

Pemandangan pantainya cukup menarik dihiasi tebing-tebing karang terjal. Sebelah timur Pantai Waru adalah Pantai Nampu yang telah populer. Sedangkan sebelah barat Pantai Waru adalah Pantai Karangpayung yang masih sepi, tapi sangat indah dan eksotis. 

Baca juga : Pantai Nampu Paranggupito, Wonogiri

Rute menuju Pantai 

Waru Kita dapat memulai rute dari Wonogiri kota ke arah selatan sekitar 60-70 kilometer sampai perempatan Kecamatan Paranggupito. Dari perempatan Kecamatan Paranggupito, ambil jalan ke arah timur sekitar 10 kilometer sampai di Dusun Dringo, Desa Gunturharjo. 

Ketika melewati pos penjagaan Dusun Dringo atau sebelum memasuki Pantai Nampu, ada jalan cor ke kanan. Kita ambil jalan cor itu ke arah barat sekitar 300 meter melewati Sumber Air Waru. Kemudian lanjut lagi sekitar 300 meter sampai di tepi Pantai Waru. Jangan sungkan bertanya pada penduduk biar tidak kesasar ya....

Sunday, March 14, 2021

Sejarah Waduk Tandon Krisak

Waduk Tandon Krisak


Waduk Tandon Krisak Wonogiri

Waduk Tandon Krisak berada di Desa Pare, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Sebenarnya, kata "tandon" hampir sama artinya dengan kata "waduk". Sehingga terkadang orang menyebutnya Waduk Tandon atau Waduk Krisak atau Tandon Krisak.

Waduk ini dibangun sekitar tahun 1942 atau pada akhir masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan memasuki era penjajahan Jepang. Sebelum dibangun, area waduk itu dahulu merupakan permukiman yang terdiri atas dua dusun di Desa Pare. 

Baca juga : Sejarah Waduk Kedung Uling Eromoko, Wonogiri

Ketika waduk dibangun, warga setempat kemudian pindah ke daerah sekitar yang tidak digenangi air. Bekas perkampungan itu bisa terlihat ketika kemarau tiba dan waduk surut. Beberapa bekas sumur terlihat di dasar waduk yang mengering.

Waduk Tandon Krisak pernah viral ketika kemarau tiba sekitar Agustus 2020 lalu. Karena airnya surut, dasar waduk berubah menjadi padang rumput yang luas. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi waduk untuk menyaksikan fenomena yang indah itu. 

Waduk Tandon Krisak jadi Padang Rumput

Waduk Tandon Krisak dibangun dengan luas 3,5 kilometer persegi dan dirancang mampu menampung volume air sebesar 3.152.000 m3. Waduk tersebut digunakan untuk menyuplai irigasi bagi 874 hektare sawah di wilayah Kecamatan Selogiri.


Saturday, March 13, 2021

Pantai Kalimirah, Si Cantik yang Pernah Digadang-gadang Jadi Pelabuhan

Pantai Kalimirah Paranggupito

Pantai pasir putih cantik dan dihiasi bebatuan karang yang eksotis menambah pesona pantai itu. Lokasinya masih tersembunyi di balik perbukitan karst, sehingga belum banyak pengunjung yang menjamahnya. Itulah Pantai Kalimirah lokasinya di Dusun Dawung, Desa Gudangharjo, Kecamatan Paranggupito, Wonogiri.

Pantai Kalimirah Paranggupito Wonogiri 

Rute menuju Pantai Kalimirah

Pantai itu bisa ditempuh dengan berkendara dari Wonogiri kota ke selatan sekitar 60-70 kilometer. Sesampainya di pusat kota Kecamatan Paranggupito, perjalanan dilanjutkan ke arah timur sekitar 7 kilometer. Ketika sampai di ujung jalan Dusun Dawung, kita harus turun dari kendaraan.

Selanjutnya, kita harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Jalan setapak itu melintasi beberapa bukit karst yang didominasi batuan kapur. Bukit-bukit yang timbul karena terangkatnya lempeng bumi jutaan tahun silam itu menjadi keunikan tersendiri yang dapat dinikmati di sepanjang perjalanan.

Setelah berjalan kaki sekitar setengah kilometer, sebuah pantai terlihat mengintip dari balik bukit. Pasir putih dan batu-batu karang besar seakan menyambut. Gelombang laut selatan berulang kali berdebur menghantam barisan karang yang paling depan. Namun, suasanya masih sepi, hampir tidak ada pengunjung lain yang menyambangi. 

Baca juga : Pantai-pantai Paling Keren di Wonogiri

Pantai Kalimirah konon pernah diproyeksikan menjadi Pelabuhan Samudera. Pelabuhan itu akan menjadi salah satu infrastruktur pendukung industri di wilayah selatan Pulau Jawa. Di mana, kapal-kapal besar bisa berlabuh di pantai tersebut. 

Panjang garis Pantai Kalimirah sekitar 500 meter. Jarak 50 meter dari bibir pantai, kedalaman lautnya sudah mencapai 30 meter. Kondisi itu memungkinkan kapal berukuran besar untuk memasuki perairan pantai.

Thursday, March 11, 2021

Sejarah Waduk Kedung Uling Eromoko, Wonogiri

Waduk Kedung Uling Eromoko

 

Waduk Kedunguling Eromoko

Waduk Kedung Uling merupakan salah satu waduk tertua di Kabupaten Wonogiri. Waduk tersebut dibangun sejak tahun 1917, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dengan demikian, waduk yang berada di Desa Ngunggahan, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri itu sudah berusia lebih dari 100 tahun atau lebih dari seabad.

Sejarah berdirinya Waduk Kedunguling diwarnai dengan beberapa cerita rakyat yang dituturkan turun temurun. Zaman dahulu, sebelum waduk Kedung Uling berdiri, pernah ada seorang raja yang menyambangi desa tersebut. Saat itu, peniti sang Raja jatuh, kemudian ditemukan oleh penduduk setempat. Penduduk yang menemukannya lalu mengembalikan peniti itu kepada Raja.

Karena terkesan dengan kejujuran warga, sang Raja kemudian menawarkan imbalan kepada warga tersebut. Namun, warga menolak diberi imbalan. Mereka hanya meminta Raja mendoakan agar anak-cucunya kelak menjadi orang sukses. Sang Raja pun bersedia mendoakan, dan salah satu yang terkabul adalah dibangunnya Waduk Kedung Uling.

Waduk Kedung Uling dibangun dengan membendung Sungai Jatirejo dan Sungai Tempuran. Luasnya 3,75 km2 dan dirancang mampu menampung air dengan volume 479.000 m3. Waduk itu juga dirancang mampu menyuplai irigasi untuk 87 hektare sawah.

Baca juga : Sejarah Waduk Cengklik Boyolali

Selama lebih dari satu abad, Waduk Kedung Uling menyuplai irigasi untuk ratusan hektare sawah di beberapa desa/kelurahan Sumberejo dan Mojopuro, Kecamatan Wuryantoro. Beberapa tahun lalu, Waduk Kedung Uling sempat mengalami kerusakan, pemerintah kemudian berupaya memperbaiki waduk agar dapat berfungsi kembali.


Sejarah Waduk Cengklik Boyolali


Waduk Cengklik Boyolali




Waduk Cengklik Boyolali



Waduk Cengklik berada di Desa Margorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Waduk Cengklik merupakan salah satu bendungan tua di Indonesia. Usianya sekarang sudah hampir satu abad.

Waduk Cengklik dibangun di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunannya dimulai tahun 1923 dan selesai sekitar tahun 1931. 

Pembangunan Waduk Cengklik dilatarbelakangi perkembangan kota Solo dan sekitarnya yang kian  padat.  Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda memandang perlu dibangunnya sebuah waduk untuk menyuplai irigasi, demi menjamin ketersediaan pangan bagi populasi masyarakat Solo dan sekitarnya yang semakin meningkat. 

Keberadaan Pabrik Gula Colomadu yang dikelola oleh Pura Mangkunegaran saat itu juga menjadi alasan lain dibangunnya Waduk Cengklik. Bisnis gula yang memberikan keuntungan besar di masa itu  memerlukan dukungan irigasi untuk mengairi kebun-kebun tebu, agar pasokan tebu ke pabrik gula tetap terjaga. 

Baca juga : Sejarah Waduk Candi Muncar Wonogiri

Bendungan Waduk Cengklik kemudian dibangun dengan panjang 1.693 meter dan tinggi sekitar 14,5 meter. Waduk Cengklik dirancang mampu menampung volume air maksimal sebesar 11,08 juta m3. Waduk tersebut dapat mengairi sawah seluas 1.578 hektare di wilayah sekitarnya. Waduk Cengklik kini dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumberdaya Air dan Tata Ruang (Pusdataru) Provinsi Jateng. 


Irigasi Waduk Cengklik Boyolali

Tuesday, March 9, 2021

Saringan Pondoksari Nguntoronadi, Spot Sunset di ujung Bendungan Baru Waduk Gajahmungkur

Saringan, Pondoksari, Nguntoronadi


Saringan Land, Pondoksari, Nguntoronadi

Keberadaan bendungan baru di Waduk Gajahmungkur ternyata memunculkan spot wisata baru yang menarik. Namanya Saringan, tepatnya di Desa Pondoksari, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri.

Baca juga Bendungan Baru Waduk Gajahmungkur Wonogiri

Saringan Land berada di ujung selatan Bendungan Baru Waduk Gajahmungkur. Lokasi ini berada di tepi perairan waduk. Dari tempat ini, kita bisa melihat matahari tenggelam atau sunset di seberang waduk, di balik Pegunungan Seribu.

Perahu nelayan yang berseliweran ikut mewarnai pemandangan alam Waduk Gajahmungkur. Para nelayan berangkat dan pulang membawa ikan hasil tangkapan mereka. 

Rute menuju Saringan

Kita mulai rute dari Waonogiri Kota ke arah timur sekitar 5 kilometer sampai di perempatan Ngadirojo. Dari perempatan Ngadirojo belok kanan ke selatan sekitar 10 kilometer sampai di pertigaan Ngadiroyo, sebelum Kecamatan Nguntoronadi. 

Dari pertigaan Ngadiroyo ke arah barat sekitar 3 kilometer sampai di Saringan Land. Di Saringan Land, kita akan  menemui ujung Bendungan Baru Waduk Gajahmungkur. Beberapa orang menjadikannya sebagai spot favorit memancing ikan. "Iwake sak gendeng-gendeng luurrr" hahaha

Bendungan Baru Waduk Gajahmungkur Wonogiri

 

Bendungan baru Waduk Gajahmungkur Wonogiri

Bendungan baru Waduk Gajahmungkur Wonogiri

Waduk Gajahmungkur Kabupaten Wonogiri sekarang mempunyai sebuah struktur bangunan baru. Yakni Closure Dike dan Overflow Dike. Kalau dilihat dari atas, bangunan itu mirip bendungan baru Waduk Gajahmungkur.

Closure Dike dibangun sepanjang 2,1 kilometer mulai dari spillway baru (Desa Pokoh Kidul, Kecamatan Wonogiri) sampai ke salah satu pulau di tengah waduk, kemudian memanjang hingga Saringan (Desa Plosorejo, Kecamatan Nguntoronadi).  

Baca juga Saringan Pondoksari Nguntoronadi, Spot Sunset di ujung Bendungan Baru Waduk Gajahmungkur

Closure Dike merupakan bangunan pembendung sedimentasi di Waduk Gajahmungkur (WGM). Bendungan baru itu digunakan untuk membendung laju sedimentasi dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Keduang. Closure Dike dibangun di hulu Sungai Keduang karena sebagian besar sedimentasi WGM bersumber dari sungai tersebut.

Sedangkan Overflow Dike berguna untuk mengarahkan air yang melimpas dari Closure Dike. Dengan demikian, air Sungai Keduang akan masuk ke intake, sedangkan sedimentasinya tertahan di belakang Overflow Dike.

Dengan adanya Closure Dike, sedimentasi akan tertahan di sebelah timur waduk, sehingga tidak bisa langsung menumpuk di depan intake.

Sungai Keduang yang hulunya di lereng Gunung Lawu adalah penyumbang terbesar sedimentasi ke Waduk Gajahmungkur. Sungai Keduang mengalir dari samping timur bendungan dan bermuara tepat di dekat intake waduk.

Tonton juga videonya https://www.youtube.com/watch?v=XEUERIa9FD4 



Perlu diketahui, sedimentasi yang masuk ke Waduk Gajahmungkur mencapai 1-1,5 juta m3 per tahun. Sampai saat ini, total sedimentasi di Waduk Gajahmungkur ditaksir mencapai 6 juta m3. Upaya pengerukan sudah dilakukan dengan mengerahkan dredger atau kapal penyedot lumpur untuk membuang 1,5 juta m3 sedimentasi, tahun 2018 silam.

Sumber : IG @wonogiriraya

Sunday, March 7, 2021

Platarombo Kampung Batu Kepuhsari, Manyaran, Wonogiri

Platarombo bisa dilihat dari puncak Bukit Batu

Kampung Batu Kepuhsari Manyaran Wonogiri

Pada postingan sebelumnya, saya telah menceritakan mengenai puncak Bukit Batu di Kampung Batu, Dusun Tlogo, Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Ternyata di kampung yang sama terdapat obyek wisata yang unik dan menarik, namanya Platarombo.

Seperti halnya puncak Bukit Batu, obyek wisata Platarombo juga berupa puncak bukit dengan dataran batu nan luas. Lebih luas dari pada puncak Bukit Batu. Bahkan, masyarakat setempat menanam padi di cekungan-cekungan atau sela-sela bebatuan. Dengan demikian, persawahan itu seakan-akan tumbuh di atas dataran bebatuan.

Dari Platarombo, kita dapat melihat puncak Bukit Batu dan bisa melihat pemandangan atau bentang alam yang lebih luas. Termasuk melihat sunrise atau mata hari terbit dan pemandangan Pegunungan Seribu. Hal itu karena Platarombo sedikit lebih tinggi dari pada puncak Bukit Batu.

Baca juga : Kampung Batu Kepuhsari Manyaran

Rute menuju Platarombo.

Rute menuju Platarombo hampir sama dengan rute menuju Kampung Batu seperti yang telah saya tulis di postingan sebelumnya. Hal itu karena Platarombo bersebelahan dengan puncak Bukit Batu dan masuk dalam wilayah Kampung Batu.

Dari pertigaan dekat balai Desa Kepuhsari, kita mengambil jalur ke selatan sekitar dua kilometer. Setelah sampai di gapura Dusun Tlogo, kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari gapura tersebut, kita ambil jalan setapak di kiri jalan masuk ke arah timur sekitar 500 meter.

Di sepanjang perjalanan, kita akan disuguhi pemandangan perbukitan batu yang unik dan eksotik. Jalannya cukup landai dan tidak terlalu menanjak sehingga mudah dilalui. Jangan sungkan bertanya kepada warga ya.... biar tidak kesasar.

Saturday, March 6, 2021

Kampung Batu Kepuhsari, Manyaran, Wonogiri

 

Kampung Batu Kepuhsari Manyaran


Kampung Batu Kepuhsari Manyaran

Sebuah fenomena alam spektakuler dapat dilihat di Dusun Tlogo, Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Salah satu puncak bukit di dusun itu berupa bebatuan luas dengan guratan-guratan unik. Bukit batu itu diperkirakan terbentuk sejak jutaan tahun yang lalu. 

Di bawahnya terdapat sungai kecil yang mengalir di antara perbukitan batu. Dari puncak Bukit Batu, kita bisa melihat Waduk Gajahmungkur di kejauhan. Kalau camping di atas puncak bukit, terkadang kita akan menyaksikan matahari terbit dari balik Waduk Gajahmungkur.

Selain puncak Bukit Batu yang menjadi ikon Dusun Tlogo, banyak rumah di dusun tersebut berdiri di antara bebatuan besar. Karena keunikan dan panorama alam yang menarik itu, warga setempat menamainya Kampung Batu. 

Tonton videonya https://www.youtube.com/watch?v=UjUTbIM6MC0


Rute Menuju Kampung Batu

Untuk menuju Kampung Batu, kita bisa mengawali perjalanan dari pusat Wonogiri Kota ke arah selatan sekitar 20 kilometer sampai di pertigaan Cengkal, Wuryantoro. Dari pertigaan Cengkal, perjalanan dilanjutkan ke arah barat sekitar 2 kilometer sampai perempatan Tiken.

Dari perempatan tiken belok kiri (ke arah selatan) sekitar 3 kilometer sampai di balai Desa Kepuhsari. Di dekat balai desa tersebut ada pertigaan, belok kiri (ke arah selatan) sekitar 2 kilometer sampai ke Dusun Tlogo. Kendaraan dapat diparkirkan di rumah warga  , setelah itu berjalan kaki ke puncak Bukit Batu. Waktu tempuh jalan kakinya hanya sekitar 5 menit. Tidak terlalu jauh kan...

Tapi biar tidak kesasar, jangan sungkan untuk bertanya kepada warga

Baca juga : Platarombo Kampung Batu Kepuhsari Manyaran

Friday, March 5, 2021

Gunung Kelir Wonogiri, Surga Pertapaan Para Dalang

Sunrise di Gunung Kelir Wonogiri



Gunung Kelir Sidoharjo Wonogiri

Kabupaten Wonogiri berada di deretan Pegunungan Seribu (Gunung Sewu). Tidak heran, kabupaten tersebut dihiasi ratusan puncak bukit dan pegunungan yang indah dan menawan. Salah satunya adalah puncak Gunung Kelir di Dusun Tekil, Desa Sembukan, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri.

Puncak Gunung Kelir mempunyai keistimewaan tersendiri. Dari atas puncak tersebut, kita dapat melihat matahari terbit (sunrise) dan matahari terbenam (sunset) di lokasi yang sama. 

Bentang alam Wonogiri tersuguh indah dan molek. Ketika cuaca cerah, kita dapat menyapu pandangan dari daerah timur Wonogiri, Purwantoro, Jatisrono dan sekitarnya. Kemudian melihat Ngadirojo, Wonogiri Kota dan Waduk Gajahmungkur, bahkan Gunung Lawu akan terlihat sangat jelas dari Gunung Kelir.

Lihat videonya 


https://www.youtube.com/watch?v=LSp6OfUc6tA

tonton juga videonya  https://www.youtube.com/watch?v=wO4hONBbh8U



Rute Menuju Gunung Kelir

Untuk menuju ke Gunung Kelir, kita dapat menempuh jalur dari Wonogiri kota ke arah timur sekitar 20 kilometer. Sesampainya di perempatan Pasar Sidoharjo belok kanan (ke arah selatan) sekitar 5 kilometer. Sesampainya di balai Desa Sembukan masih ke selatan lagi sekitar 2 kilometer. (Dari balai desa ini kita sudah bisa melihat puncak Gunung Kelir dari kejauhan).

Dari balai Desa Sembukan, kita akan melintasi sebuah jembatan besar. Jalur akan menanjak, jadi pastikan kendaraan anda benar-benar dalam kondisi prima. Setelah sampai, kita memarkirkan kendaraan di sekitar rumah Pak Suyadi salah seorang warga setempat. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan jalan kaki ke puncak Gunung Kelir.

Track menuju Gunung Kelir bisa ditempuh sekitar 20-30 menit berjalan kaki dengan santai. Jalan setapaknya menanjak tetapi tidak terlalu ekstrem. Kita akan melintasi tegalan warga, kemudian melewati hutan pinus dengan pemandangan yang elok. Ada beberapa warung yang didirikan warga sehingga kita dapat beristirahat sambil jajan-jajan santai di warung.

Sejarah Gunung Kelir

Masyarakat menamainya Gunung Kelir karena salah satu sisi lerengnya mirip kelir (layar) dalam pertunjukan wayang kulit. Terlebih kalau dilihat dari kejauhan, tebing itu sangat mirip kelir lengkap dengan gedebok dan wayangnya. Konon, banyak dalang yang bertapa atau menjalani tirakat di gunung tersebut. Mereka ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa melalui ritual yang dijalani di Gua Kelir. Lokasi Gua Kelir berada tepat di puncak Gunung Kelir.

 

Jati-jati Raksasa di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri

Pohon Jati di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri Pohon Jati Berlubang di Cagar Alam Donoloyo Wonogiri Cagar Alam Donoloyo di Desa Watusomo, Keca...

BERITA TERPOPULER